- Wajah Pendidikan Indonesia
- Mengukir Kedaulatan Siber Menuju Indonesia Emas 2045
- Resolusi Jihad Santri Abad 21 Menuju Peradaban Dunia
- Pendidikan Penyelamat Lingkungan
- Awas!! Jaga kETIKAnmu
- Pendidikan Menajamkan Nalar Kritis
- Menjadi Generasi Cakap Digital
- Pondasi Literasi Digital
- Sudut Pandang Lain Penggunaan Chromebook
- Tantangan Pendidikan di Kabupaten Tegal
Sudut Pandang Lain Penggunaan Chromebook
Arti Fisolofis Penggunaan Chromebook

Keterangan Gambar : Iqbaal Harits Maulana, Sekretaris Lembaga Kajian Origami Nusantara
Di tengah obsesi dunia pada
perangkat keras tercanggih dan software termewah, kita sering melupakan
satu kebenaran fundamental, teknologi terbaik untuk pendidikan bukanlah yang
paling mampu melakukan segalanya, tetapi yang paling mampu membatasi segalanya.
Inilah mengapa, terlepas dari segala polemik pengadaan dan drama kebijakan yang
menyertainya, pemilihan Chromebook sebagai tulang punggung digitalisasi
pendidikan di Indonesia adalah sebuah keputusan strategis yang brilian bahkan
bisa disebut jenius.
Kita semua menyaksikan krisis
perhatian yang melanda generasi saat ini. Siswa hidup dalam era Attention
Economy, di mana setiap lini kehidupan termasuk aplikasi, dari media sosial
hingga game dirancang secara cerdas untuk memperebutkan dan memonopoli
fokus mereka. Begitu laptop high-end atau smartphone canggih
terbuka, otak langsung dibanjiri notifikasi dan godaan tak berujung. Perangkat
yang seharusnya memajukan pendidikan justru menjadi mesin penghasil distraksi
terhebat.
Di sinilah letak keunggulan
filosofis Chromebook yang kerap luput dari perhatian. Perangkat ini selalu
dicibir karena spesifikasinya yang "kentang" dan ketergantungan pada
koneksi internet. Namun, kritik ini gagal melihat bahwa keterbatasan Chromebook
adalah fitur pedagogis yang paling bernilai. Chrome OS didesain secara minimalis
dan terlihat tidak ideal untuk menjalankan aplikasi desktop yang
"berat" atau game yang serakah memori. Keterbatasan ini
bertindak sebagai "Digital Nanny" yang efektif, yang secara fisik menutup
pintu keluar siswa dari lingkungan belajar. Siswa dipaksa untuk single-tasking
pada tugas inti yang diberikan guru, seperti menulis, riset, atau kolaborasi menggunakan
dokumen cloud. Ini bukan kecacatan, melainkan solusi desain yang
disengaja untuk menuntut fokus di tengah gempuran distraksi.
Baca Lainnya :
- Tantangan Pendidikan di Kabupaten Tegal0
- Salah Urut Langkah Digitalisasi Pendidikan0
- Guru-Guru Kabupaten Tegal Berkomitmen Stop Kekerasan Dengan Cara Inovatif0
Kejeniusan Chromebook,
sebenarnya, tidak terletak pada fisik atau resource-nya, melainkan pada
kemampuan manajemennya. Melalui Chrome Management Console, perangkat keras ini
berubah menjadi sistem pengendalian fokus digital yang canggih dan terpusat.
Guru dan admin yang memiliki akses dapat mengendalikan ribuan perangkat dari
jarak jauh dan serentak. Mereka dapat dengan mudah memblokir situs atau
aplikasi spesifik, memastikan siswa hanya menggunakan browser untuk
keperluan yang relevan, atau mengunci layar pada saat sesi ujian agar siswa
tidak bisa melirik aplikasi lain. Kontrol terpusat ini memberikan guru otoritas
yang sangat dibutuhkan, mengubah peran mereka dari pengawas fisik yang lelah
melawan ponsel pintar menjadi pengendali yang proaktif. Hal ini memberikan
lompatan besar dalam efisiensi dan kontrol kelas, sesuatu yang sulit diimbangi
oleh perangkat yang lebih canggih namun sulit diatur secara massal.
Tentu saja, salah satu kritik
terbesar terhadap kebijakan ini adalah masalah vendor lock-in keterikatan
pada ekosistem Google. Kritik ini valid karena memberikan kekuatan kontrol yang
besar pada satu perusahaan teknologi global. Namun, jika kita melihat dari
kacamata implementasi kebijakan publik yang bertujuan untuk pemerataan secara
masif, kita perlu membalikkan pertanyaan ini dengan tajam, Adakah vendor atau
platform lain yang saat ini mampu menyediakan perangkat keras yang terjangkau,
dikombinasikan dengan sistem operasi yang ringan, didukung oleh cloud
service untuk pembelajaran, dan yang terpenting, menyediakan dashboard
pengelolaan yang terpusat (scalable) yang seefisien ini?
Jawabannya, untuk saat ini, adalah sulit ditemukan. Pesaing utama menuntut biaya lisensi software dan hardware yang jauh lebih tinggi, sehingga mustahil untuk diimplementasikan secara merata di jutaan siswa di seluruh pelosok Indonesia. Pilihan open source pun membutuhkan keahlian teknis dan maintenance yang terlalu rumit dan mahal untuk mayoritas sekolah di daerah. Dalam konteks pengadaan skala besar dan kebutuhan pemerataan yang cepat, trade-off dari vendor lock-in (yaitu biaya rendah, kontrol terpusat, dan minimalisir distraksi) justru menjadi keunggulan yang tidak tertandingi. Ini adalah langkah pragmatis yang harus diambil demi memastikan setiap siswa mendapatkan akses ke alat belajar yang mendorong fokus, bukan mengundang malapetaka distraksi.
Pada akhirnya, kita harus objektif. Kritik terhadap Chromebook yang hanya berfokus pada spek teknis adalah pandangan yang dangkal dan bias terhadap hardware mewah. Itu mengabaikan krisis fokus yang dihadapi siswa modern. Keputusan pemilihan Chromebook adalah pernyataan pedagogis yang berani, di tengah keriuhan digital, pendidikan kita memilih kesederhanaan yang mendidik di atas kecanggihan yang mengganggu.
.png)


.jpg)
.jpg)
.jpg)

