- Wajah Pendidikan Indonesia
- Mengukir Kedaulatan Siber Menuju Indonesia Emas 2045
- Resolusi Jihad Santri Abad 21 Menuju Peradaban Dunia
- Pendidikan Penyelamat Lingkungan
- Awas!! Jaga kETIKAnmu
- Pendidikan Menajamkan Nalar Kritis
- Menjadi Generasi Cakap Digital
- Pondasi Literasi Digital
- Sudut Pandang Lain Penggunaan Chromebook
- Tantangan Pendidikan di Kabupaten Tegal
Pendidikan Menajamkan Nalar Kritis
Bagaimana Pendidikan Menajamkan Nalar Kritis?

Kita tengah mengalami proses siklus kehidupan yang belum ada padanannya pada aspek percepatan perubahannya dibanding era terdahulu. Informasi yang berlimpah dan murah memenuhi keranjang otak kita dengan beragam pilihan. Tak jarang, informasi sampah mendominasi layar lini masa media sosial kita. Kemudian tak sadar, kebutuhan kita dibentuk oleh keinginan tanpa batas akibat kelebihan informasi.
Hampir semua yang kita inginkan dapat kita akses dalam sekali 'klik' pada sebuah gawai dalam genggaman kita. Dunia menjadi seluas telapak tangan. Tak perlu keahlian khusus untuk mengakses semua hal, pengetahuan, benda-benda, dan keterampilan yang kita inginkan. Beragam aplikasi yang memeras sifat konsumtif marak menawarkan akses yang semakin mudah.
Menghadapi banjir informasi dan gempuran kemudahan aplikasi digital, diperlukan kesigapan nalar agar tak gampang latah. Tanpa kesanggupan menyaring semua informasi dengan kacamata kritis maka sesungguhnya kita sedang menyerahkan ketelanjangan diri kepada Big Data. Tanpa kesadaran yang waspada, gerak hidup manusia sedang dirumuskan dalam sebuah algoritma.
Baca Lainnya :
- Menjadi Generasi Cakap Digital0
- Pondasi Literasi Digital0
- Sudut Pandang Lain Penggunaan Chromebook0
- Tantangan Pendidikan di Kabupaten Tegal0
- Salah Urut Langkah Digitalisasi Pendidikan0
Masyarakat yang mudah jatuh pada selera nafsu menjadi semakin konsumtif, lambat laun berdampak pada kehilangan daya kritis akut, mirip seperti candu. Hal ini akan menjadi alarm bahaya ketika keinginan tak lagi bisa dibendung sementara daya beli merosot pada titik terrendah. Kemiskinan segera muncul sebagai beban yang sulit diatasi. Dampak turunannya adalah gejolak sosial yang tak terelakkan seperti kriminalitas, ketimpangan, atau unjuk rasa yang berujung anarki.
Selain itu, informasi yang bercampur antara sampah dan pengetahuan ilmiah kerapkali sulit untuk dibedakan. Sejumlah konten palsu dipercaya begitu saja tanpa cek kebenaran sumber data yang diambil. Kita acapkali mendengar sebuah kerusuhan terjadi akibat berita hoaks. Setiap individu merasa memiliki informasi yang benar menurut pendapatnya sendiri, meskipun masih sebatas pendapat yang mungkin benar bisa juga salah.
Siapa saja dapat menjadi penjelas sebuah fenomena tanpa memiliki latar belakang keilmuan yang sesuai dengan pendapat yang disuarakan. Setiap orang merasa dirinya paling pas menjelaskan sebuah peristiwa. Setiap orang seolah menjadi pakar dalam hal apa saja. Informasi asal comot hanya demi eksistensi diri untuk dipajang di etalase media sosial.
Jadi, luapan informasi dan menjamurnya sistem aplikasi belanja online yang begitu mudah diakses mengandung ekses setidaknya pada dua hal, pertama, masyarakat bisa bangkrut jatuh pada mental konsumtif. Kedua, tanpa kemampuan menyaring informasi yang valid, kita juga mudah kalap menggilai informasi sesat dan menyesatkan.
Diperlukan kemampuan berpikir kritis untuk bertahan dari kemungkinan kerawanan tersebut di atas. Motor yang mampu menggerakkan sekaligus menghidupkan tata cara berpikir kritis tentu wilayah pendidikan. Dengan pembelajaran yang melatih anak untuk bisa menguji informasi yang ditangkap, peserta didik terlatih untuk menemukan fakta sebenarnya dari sebuah informasi.
Anak muda tak boleh sambil lalu dalam membaca sebuah fakta. Kemampuan berpikir logis dan rasional harus digunakan untuk menginvestigasi semua konten yang hendak dilihat. Tanpa itu, peluang terjerumus pada jebakan berita hoaks atau tergiur pada konsumsi barang yang belum tentu dibutuhkan sulit dihindari.
Sekolah, sudah sewajarnya mengedepankan model pembelajaran berbasis riset. Alih-alih menjejalkan pengetahuan yang dihafal, murid perlu diberikan ruang kesempatan untuk menemukan sendiri apa yang ingin mereka pelajari. Pembelajaran berbasis riset memungkinkan murid untuk belajar menguji sebuah data observasi bahwa data tersebut valid dan konsisten atau sekadar opini semata.
Dengan bekal kuat sebagaimana seorang peneliti, seorang siswa tak akan mudah terkecoh oleh informasi yang sangat banyak. Ada semacam kata kunci khas, manakah berita yang pasti bisa diduga hoaks atau fenomena yang riil. Jika generasi siswa kita berbekal rasionalitas yang tajam, maka kelebihan informasi adalah berkah, bukan musibah. Sebab, ketajaman kreativitas diukur dari seberapa seseorang mampu mengelola informasi yang sangat banyak menjadi sebuah produk inovasi karya berbudaya.
Alhasil, pendidikan sebagai tonggak peradaban bukanlah sekadar cerita. Pendidikan benar-benar perlu menghadirkan peran nyata sebagai pelopor perubahan yang ditandai dengan kekuatan kreativitas tanpa batas yang dimiliki oleh anak muda jebolan pendidikan berkualitas. Ini agenda penting yang harus bangkit di negara kita tercinta, Indonesia.
.png)


.jpg)
.jpg)
.jpg)


