Salah Urut Langkah Digitalisasi Pendidikan
Apakah Langkah Digitalisasi Pendidikan Salah Urut?

By Iqbaal Harits 01 Okt 2025, 09:39:25 WIB Opini
Salah Urut Langkah Digitalisasi Pendidikan

Keterangan Gambar : Iqbaal Harits Maulana, Sekretaris Lembaga Kajian Origami Nusantara


Gema program digitalisasi pendidikan kembali terdengar nyaring. Janji akan hadirnya layar interaktif di ratusan ribu sekolah di seluruh Indonesia adalah sebuah gagasan yang patut kita sambut dengan optimisme. Ini adalah harapan besar, sebuah lompatan yang kita dambakan untuk dunia pendidikan.

Namun, seperti yang pernah saya ulas dalam tulisan "Harapan dan Realita Program Digitalisasi Belajar", seringkali ada jurang yang dalam antara rencana besar di atas kertas dengan kenyataan pahit di lapangan. Saat kita membayangkan kelas masa depan dengan layar sentuh canggih, realitanya di banyak daerah, jangankan tablet untuk tiap siswa, melihat guru percaya diri menggunakan laptop dan proyektor saja sudah merupakan sebuah kemajuan.

Di sinilah pertanyaan krusial itu muncul, sebuah kegelisahan yang sama: Apakah program besar-besaran ini nantinya akan menjadi katalisator perubahan, atau kita hanya sedang terjebak dalam euforia pengadaan barang? Jangan-jangan, kita hanya bersiap mengganti papan tulis hitam dengan 'papan tulis digital' yang mahal, tapi cara mengajar dan berpikirnya masih sama persis seperti 20 tahun lalu.

Baca Lainnya :

Masalah utamanya, langkah kita ini rasanya kok kebalik, ya?

Bayangkan kamu sedang merakit sebuah robot canggih. Harusnya, kamu siapkan dulu otaknya (programnya), baru pasang badan, tangan, dan kakinya. Nah, kita ini malah kebalik: badan robotnya sudah kita poles kinclong dengan segala perangkat digital, tapi otaknya  kesiapan guru dan siswanya  masih megap-megap.

Aneh, kan? Di satu sisi, hasil survei PISA 2022 menunjukkan kita masih terseok-seok di kemampuan baca, matematika, dan sains. Di sisi lain, katanya kita sudah melek digital, walau skornya masih kategori "sedang". Ini seperti punya mobil balap, tapi yang nyetir baru belajar pakai mobil matic. Kita teriak "digital!", tapi kemampuan berpikir kritis, memilah informasi, dan membedakan mana yang hoaks masih jadi PR besar.

Coba kita berandai-andai sejenak, intip ke dalam sebuah kelas "digital" yang umum kita temui. Seringnya, pemandangannya begini: guru menayangkan slide presentasi (yang isinya sama persis dengan buku paket), siswa disuruh mencatat, lalu ujiannya pakai aplikasi online. Polanya sama persis dengan zaman dulu, cuma medianya saja yang ganti. Papan tulis kapur jadi layar proyektor, buku catatan jadi buku tulis biasa. Kalau begini terus, jangan heran kalau siswa cepat bosan dan guru merasa teknologi malah jadi beban baru.

Padahal, esensi ruang kelas digital itu bukan sekadar memindahkan buku ke layar. Bayangkan sebuah ruang kelas di mana teknologi menjadi jembatan untuk berkolaborasi. Siswa dari berbagai sekolah bisa mengerjakan proyek bersama secara online. Bayangkan guru bisa memberikan materi yang berbeda-beda sesuai kecepatan belajar setiap siswa, karena dibantu aplikasi adaptif. Itulah mimpi yang sesungguhnya.

Kuncinya ada di mana? Di manusianya. Banyak guru kita yang hebat, tapi dilempar ke dunia digital ini seperti disuruh berenang di lautan badai tanpa pelampung. Pelatihannya kilat, pendampingannya minim. Di sisi lain, siswa kita yang katanya "generasi digital" itu juga tak otomatis jago. Mereka mungkin lihai membuat konten TikTok, tapi coba suruh mereka menganalisis sebuah artikel berita atau menulis esai kritis dari berbagai sumber digital. Belum tentu bisa.

Kita sibuk membangun infrastruktur fisik, tapi lupa membangun "infrastruktur" di dalam kepala.

Sekarang, coba kita putar balik khayalannya. Andai saja urutannya benar: siapkan dulu manusianya, baru teknologinya.

Bayangkan seorang guru yang bukan lagi sekadar pengajar, tapi seorang "sutradara pembelajaran". Dia tahu kapan harus memakai video, kapan memakai simulasi interaktif, atau kapan mengajak siswa berdebat di forum online. Dia tidak takut teknologi, karena teknologi adalah asistennya, bukan tuannya.

Lalu, bayangkan siswanya. Mereka bukan lagi konsumen pasif yang menelan informasi mentah-mentah. Mereka adalah para "detektif digital". Diberi sebuah informasi, mereka akan bertanya: "Siapa penulisnya? Apa tujuannya? Ada bukti lain nggak?" Mereka bisa merangkai informasi dari berbagai sumber menjadi sebuah pengetahuan baru.

Kalau guru dan siswanya sudah sekeren ini, mau pakai layar interaktif paling canggih atau laptop sederhana sekalipun, pembelajarannya pasti akan hidup. Teknologi hanyalah alat. Secanggih apa pun palu yang kamu punya, ia tidak akan berguna di tangan orang yang tidak tahu cara memaku.

Jadi, coba sekarang kita lihat lingkungan di sekitar kita. Lihat sekolah terdekat. Apakah digitalisasi di sana sudah melahirkan cara belajar yang baru dan seru? Atau hanya memindahkan kebiasaan lama ke dalam bungkus baru yang lebih modern? Apakah para guru sudah percaya diri menjadi nahkoda di kapal digital ini? Dan apakah siswa benar-benar dibentuk menjadi warga digital yang cerdas?

Ruang kelas digital impian itu bukan hal yang mustahil. Ia bisa terwujud jika kita berani menata ulang prioritas. Bukan lagi soal seberapa canggih perangkatnya, tapi seberapa siap penggunanya. Dengan begitu, digitalisasi tak akan lagi jadi slogan kosong, tapi menjadi jalan nyata menuju generasi yang siap menghadapi masa depan.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment