- Wajah Pendidikan Indonesia
- Mengukir Kedaulatan Siber Menuju Indonesia Emas 2045
- Resolusi Jihad Santri Abad 21 Menuju Peradaban Dunia
- Pendidikan Penyelamat Lingkungan
- Awas!! Jaga kETIKAnmu
- Pendidikan Menajamkan Nalar Kritis
- Menjadi Generasi Cakap Digital
- Pondasi Literasi Digital
- Sudut Pandang Lain Penggunaan Chromebook
- Tantangan Pendidikan di Kabupaten Tegal
Salah Urut Langkah Digitalisasi Pendidikan
Apakah Langkah Digitalisasi Pendidikan Salah Urut?
1.jpg)
Keterangan Gambar : Iqbaal Harits Maulana, Sekretaris Lembaga Kajian Origami Nusantara
Gema program digitalisasi pendidikan kembali terdengar nyaring. Janji akan hadirnya layar interaktif di ratusan ribu sekolah di seluruh Indonesia adalah sebuah gagasan yang patut kita sambut dengan optimisme. Ini adalah harapan besar, sebuah lompatan yang kita dambakan untuk dunia pendidikan.
Namun, seperti yang pernah saya
ulas dalam tulisan "Harapan dan Realita Program Digitalisasi Belajar",
seringkali ada jurang yang dalam antara rencana besar di atas kertas dengan
kenyataan pahit di lapangan. Saat kita membayangkan kelas masa depan dengan
layar sentuh canggih, realitanya di banyak daerah, jangankan tablet untuk tiap
siswa, melihat guru percaya diri menggunakan laptop dan proyektor saja sudah
merupakan sebuah kemajuan.
Di sinilah pertanyaan krusial itu
muncul, sebuah kegelisahan yang sama: Apakah program besar-besaran ini nantinya
akan menjadi katalisator perubahan, atau kita hanya sedang terjebak dalam
euforia pengadaan barang? Jangan-jangan, kita hanya bersiap mengganti papan
tulis hitam dengan 'papan tulis digital' yang mahal, tapi cara mengajar dan
berpikirnya masih sama persis seperti 20 tahun lalu.
Baca Lainnya :
Masalah utamanya, langkah kita
ini rasanya kok kebalik, ya?
Bayangkan kamu sedang merakit
sebuah robot canggih. Harusnya, kamu siapkan dulu otaknya (programnya), baru
pasang badan, tangan, dan kakinya. Nah, kita ini malah kebalik: badan robotnya
sudah kita poles kinclong dengan segala perangkat digital, tapi otaknya kesiapan guru dan siswanya masih megap-megap.
Aneh, kan? Di satu sisi, hasil
survei PISA 2022 menunjukkan kita masih terseok-seok di kemampuan baca,
matematika, dan sains. Di sisi lain, katanya kita sudah melek digital, walau
skornya masih kategori "sedang". Ini seperti punya mobil balap, tapi
yang nyetir baru belajar pakai mobil matic. Kita teriak "digital!",
tapi kemampuan berpikir kritis, memilah informasi, dan membedakan mana yang
hoaks masih jadi PR besar.
Coba kita berandai-andai sejenak,
intip ke dalam sebuah kelas "digital" yang umum kita temui.
Seringnya, pemandangannya begini: guru menayangkan slide presentasi
(yang isinya sama persis dengan buku paket), siswa disuruh mencatat, lalu
ujiannya pakai aplikasi online. Polanya sama persis dengan zaman dulu,
cuma medianya saja yang ganti. Papan tulis kapur jadi layar proyektor, buku
catatan jadi buku tulis biasa. Kalau begini terus, jangan heran kalau siswa
cepat bosan dan guru merasa teknologi malah jadi beban baru.
Padahal, esensi ruang kelas
digital itu bukan sekadar memindahkan buku ke layar. Bayangkan sebuah ruang
kelas di mana teknologi menjadi jembatan untuk berkolaborasi. Siswa dari
berbagai sekolah bisa mengerjakan proyek bersama secara online.
Bayangkan guru bisa memberikan materi yang berbeda-beda sesuai kecepatan
belajar setiap siswa, karena dibantu aplikasi adaptif. Itulah mimpi yang
sesungguhnya.
Kuncinya ada di mana? Di
manusianya. Banyak guru kita yang hebat, tapi dilempar ke dunia digital ini
seperti disuruh berenang di lautan badai tanpa pelampung. Pelatihannya kilat,
pendampingannya minim. Di sisi lain, siswa kita yang katanya "generasi
digital" itu juga tak otomatis jago. Mereka mungkin lihai membuat konten
TikTok, tapi coba suruh mereka menganalisis sebuah artikel berita atau menulis
esai kritis dari berbagai sumber digital. Belum tentu bisa.
Kita sibuk membangun
infrastruktur fisik, tapi lupa membangun "infrastruktur" di dalam
kepala.
Sekarang, coba kita putar balik
khayalannya. Andai saja urutannya benar: siapkan dulu manusianya, baru
teknologinya.
Bayangkan seorang guru yang bukan
lagi sekadar pengajar, tapi seorang "sutradara pembelajaran". Dia
tahu kapan harus memakai video, kapan memakai simulasi interaktif, atau kapan
mengajak siswa berdebat di forum online. Dia tidak takut teknologi,
karena teknologi adalah asistennya, bukan tuannya.
Lalu, bayangkan siswanya. Mereka
bukan lagi konsumen pasif yang menelan informasi mentah-mentah. Mereka adalah
para "detektif digital". Diberi sebuah informasi, mereka akan
bertanya: "Siapa penulisnya? Apa tujuannya? Ada bukti lain nggak?"
Mereka bisa merangkai informasi dari berbagai sumber menjadi sebuah pengetahuan
baru.
Kalau guru dan siswanya sudah
sekeren ini, mau pakai layar interaktif paling canggih atau laptop sederhana
sekalipun, pembelajarannya pasti akan hidup. Teknologi hanyalah alat. Secanggih
apa pun palu yang kamu punya, ia tidak akan berguna di tangan orang yang tidak
tahu cara memaku.
Jadi, coba sekarang kita lihat
lingkungan di sekitar kita. Lihat sekolah terdekat. Apakah digitalisasi di sana
sudah melahirkan cara belajar yang baru dan seru? Atau hanya memindahkan
kebiasaan lama ke dalam bungkus baru yang lebih modern? Apakah para guru sudah
percaya diri menjadi nahkoda di kapal digital ini? Dan apakah siswa benar-benar
dibentuk menjadi warga digital yang cerdas?
Ruang kelas digital impian itu
bukan hal yang mustahil. Ia bisa terwujud jika kita berani menata ulang
prioritas. Bukan lagi soal seberapa canggih perangkatnya, tapi seberapa siap
penggunanya. Dengan begitu, digitalisasi tak akan lagi jadi slogan kosong, tapi
menjadi jalan nyata menuju generasi yang siap menghadapi masa depan.
.png)


.jpg)
.jpg)
.jpg)


