- Wajah Pendidikan Indonesia
- Mengukir Kedaulatan Siber Menuju Indonesia Emas 2045
- Resolusi Jihad Santri Abad 21 Menuju Peradaban Dunia
- Pendidikan Penyelamat Lingkungan
- Awas!! Jaga kETIKAnmu
- Pendidikan Menajamkan Nalar Kritis
- Menjadi Generasi Cakap Digital
- Pondasi Literasi Digital
- Sudut Pandang Lain Penggunaan Chromebook
- Tantangan Pendidikan di Kabupaten Tegal
Resolusi Jihad Santri Abad 21 Menuju Peradaban Dunia
Bagaimana Resolusi Jihad di Update Untuk menghadapi Dunia Abad 21
.jpg)
Keterangan Gambar : Iqbaal Harits Maulana, Sekretaris Lembaga Kajian Origami Nusantara
Di sepanjang lorong pesantren, aroma khas kitab kuning dan kopi hitam biasanya menyambut pergantian hari. Namun, menjelang Hari Santri 2025 ini, kehangatan itu mendadak disergap udara dingin dari layar kaca. Tepat ketika semangat kaum santri sedang meninggi, sebuah stasiun televisi nasional menayangkan liputan dengan framing negatif yang menyudutkan pesantren, seolah-olah lembaga pendidikan tertua ini adalah menara gading yang penuh misteri.
Pemberitaan yang dangkal dan bias itu bukan sekadar kritik media, ia adalah tamparan keras. Respons spontan kaum santri, yang langsung bergerak reaktif di media sosial, menuntut klarifikasi, dan membuat tagar perlawanan, memang menunjukkan kesetiaan luar biasa. Tetapi, di balik hiruk pikuk itu, tersembunyi sebuah pengakuan pahit, kaum santri masih belum berdaya di arus informasi digital. Mereka hanya bisa memadamkan api yang sudah terlanjur membakar, bukan membangun benteng yang kebal terhadap fitnah. Inilah yang harus kaum santri renungkan, mengapa narasi tentang kaum santri lebih sering dikendalikan oleh orang lain, bukan oleh kaum santri sendiri?
Jika dulu jihad santri adalah mengusir penjajah dengan bambu runcing, kini medan pertempuran telah pindah ke jemari, ke dunia swipe dan scroll. Pesantren, yang selama ini menjadi mata air Islam Nusantara, wajib bertransformasi. Tema Hari Santri 2025, “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia,” dengan filosofi Pita Cakrawala, menuntut kaum santri untuk mengikat erat tradisi luhur dengan modernitas teknologi. Tanpa penguasaan ini, narasi keagamaan santri akan tercekik, dan ruang wacana akan direbut oleh suara-suara sumbang yang kering akan sanad dan etika.
Baca Lainnya :
- Pendidikan Penyelamat Lingkungan0
- Awas!! Jaga kETIKAnmu0
- Pendidikan Menajamkan Nalar Kritis0
- Menjadi Generasi Cakap Digital0
- Pondasi Literasi Digital0
Lalu, bagaimana santri harus berdigdaya? Modal utama kaum santri bukanlah sebatas kuota internet, melainkan sanad keilmuan dan akhlak. Santri terbiasa dengan proses belajar yang panjang, teliti, dan mengutamakan kehati-hatian (tabayyun). Modal tawasuth (moderat) dan tawazun (seimbang) ini adalah filter alami yang tak dimiliki content creator pada umumnya. Kaum santri harus menjadi produsen narasi yang sejuk, melawan hoax dan radikalisme dengan konten Islami yang rahmatan lil alamin. Ibarat lilin di tengah gelapnya banjir informasi, santri harus rela melebur untuk menerangi sekitarnya.
Kabar baiknya, pergerakan sudah dimulai. Di banyak pesantren, kolaborasi antara mengaji kitab kuning dankoding telah menjadi mata pelajaran yang diajarkan. Kaum santri telah membuktikan diri mampu menjadi content creator dakwah dengan gaya yang cerdas, melahirkan digitalpreneur melalui program OPOP (One Pesantren One Product), bahkan ada alwikobra seorang santri tahfiz yang sukses menjadi atlet e-sport. Mereka tidak lagi hanya menjual produk, tetapi juga menjual nilai dan etika bisnis Islami, menjadikan pesantren sebagai hub ekonomi kreatif.
Namun, kejadian pemberitaan negatif kemarin itu harus dijadikan cermin retak. Ia menunjukkan bahwa upaya-upaya ini belum terinstitusionalisasi secara merata. Ketika stasiun TV membuat framing negatif, kaum santri terlalu sering hanya mampu bereaksi mempertahankan diri bukan proaktif menyerang dengan narasi keunggulan yang sudah lebih dulu disiapkan. Ini adalah tanda bahwa kaum santri harus segera beranjak dari posisi objek menjadi subjek yang mengendalikan narasi tentang dirinya sendiri.
Jika kaum santri ingin menjadi "Pita Cakrawala" yang dihormati di panggung dunia, mereka harus berhenti terperangkap dalam kepasifan. Transformasi ini tidak bisa dilakukan sendirian, ia menuntut sinergi kolektif yang kuat.
Maka, pertama-tama, Pesantren harus berani mengambil keputusan radikal, yaitu mengubah paradigma manajemen informasi, menempatkan tim media digital sebagai lini terdepan dan proaktif. Infrastruktur internet dan lab coding bukan lagi barang mewah, melainkan perangkat jihad yang wajib ada. Kurikulum harus secara eksplisit menanamkan etika cyber dan teknik storytelling digital, setara dengan kedalaman kajian fiqih.
Selanjutnya, Pemerintah dan seluruh Stakeholder wajib mengiringi langkah ini dengan dukungan total. Program Santri Digitalpreneur harus diperluas, bukan sekadar proyek percontohan, tetapi sistem pembinaan berkelanjutan yang mampu mencetak ribuan santri ahli teknologi dan media setiap tahunnya. Kesenjangan akses digital di daerah terpencil harus segera ditutup, karena ketidakberdayaan digital seringkali berawal dari ketiadaan akses.
Dan yang terpenting, Santri dan Alumni harus merespons panggilan ini dengan mentalitas creator sejati, bukan sekadar user. Alumni yang sukses di dunia profesional wajib kembali ke pondok untuk menjadi mentor. Santri harus menggunakan sanad keilmuannya untuk memilah informasi, dan menggunakan gawai mereka sebagai senjata paling efektif untuk menyebarkan kedamaian, bukan kebohongan. Kaum santri harus saling dukung penuh.
Pada akhirnya, selain NKRI, menguasai ruang digital adalah harga mati. Itu adalah strategi jangka panjang untuk menjamin nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jamaah tetap relevan dan lestari dalam masyarakat modern. Dengan memenangkan narasi digital, kaum santri tidak akan lagi terjebak dalam pusaran framing negatif dan sikap reaktif. Inilah saatnya, dengan semangat Resolusi Jihad, kaum santri memproklamasikan kedaulatan digital mereka, demi masa depan Indonesia yang moderat, maju, dan berdaulat atas narasi kebangsaannya.
.png)


.jpg)
.jpg)


