Wajah Pendidikan Indonesia
Bongkar Pasang Kurikulum Pendidikan indonesia

By Iqbaal Harits 03 Nov 2025, 13:21:36 WIB Opini
Wajah Pendidikan Indonesia

Keterangan Gambar : Iqbaal Harits Maulana, Sekretaris Pusat Kajian Origami Nusantara


Saya adalah seseorang yang pernah aktif di lingkungan sekolah dan hingga kini lingkaran pertemanan dan keluarga saya dipenuhi oleh para pendidik mereka yang setiap hari bergulat dengan realitas ruang kelas. Pagi ini saat mendengar kabar ribuan siswa SLTA menjalani Tes Kemampuan Akademis saya bukannya merasa lega justru keresahan lama kembali mencuat. Itu bukan sekadar ujian kemampuan siswa tetapi ujian terhadap sistem yang selama ini saya lihat gagal menjamin konsistensi.

Kami masyarakat, mantan praktisi dan keluarga pendidik telah terlalu sering menyaksikan penyakit kronis dalam sistem pendidikan kita kegagalan mencapai stabilitas kebijakan.

Setiap kali terjadi pergantian nakhoda di Kementerian yang menaungi Pendidikan hampir pasti kami disuguhi perubahan radikal yang paling sering menyasar kurikulum. Fenomena ganti menteri ganti kurikulum ini bukan lagi anekdot melainkan malpraktik sistemik yang menggerogoti kualitas pendidikan Indonesia.

Baca Lainnya :

Guru-guru kita para pendidik yang berhadapan langsung dengan realitas ruang kelas adalah korban pertama. Mereka dipaksa menjalani siklus adaptasi yang tak pernah usai. Kurikulum baru hadir bukan sebagai penyempurnaan melainkan sebagai perombakan total yang menuntut jam kerja ekstra untuk pelatihan penyesuaian materi dan pemahaman filosofi baru.

Inilah inti dari masalah energi pendidik yang seharusnya dicurahkan untuk peningkatan mutu pengajaran fokus pada kebutuhan siswa dan pengembangan profesional justru terbuang habis untuk urusan administratif adaptasi kebijakan. Mereka adalah profesional yang dipaksa menjadi operator perubahan yang serba tergesa-gesa.

selain pendidik ada aktor yang nerasakan dampak paling destruktif dari inkonsistensi ini yaitu peserta didik. Mereka tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan satu kerangka pembelajaran secara tuntas dan mendalam.

Kurikulum yang seharusnya menjadi peta jalan stabil menuju kompetensi diubah di tengah jalan membuat proses belajar menjadi tidak berkesinambungan. Siswa memasuki kelas dengan guru yang masih bingung antara tuntutan kurikulum yang lama dan yang baru. Pembelajaran menjadi serba permukaan kurang mendalam dan hasilnya adalah ketidak-tuntasan substansial.

Kita harus lugas menyebutnya Sistem pendidikan kita telah memperlakukan siswa dan guru sebagai kelinci percobaan di laboratorium kebijakan.

ingat, seharusnya sekolah bukan ruang isolasi untuk menguji ambisi legacy politik seorang menteri. Sekolah adalah institusi yang harus beroperasi berdasarkan prinsip konsistensi kehati-hatian dan pertimbangan jangka panjang.

Sydah saatnya paradigma berfikir pemimpin meletakan Pendidikan sebagai investasi jangka panjang bukan proyek mercusuar jangka pendek. Tidak ada kurikulum di dunia yang dapat dievaluasi keberhasilannya hanya dalam waktu tiga sampai empat tahun. Untuk melihat dampak sebuah perubahan fundamental dibutuhkan waktu minimal satu siklus penuh yaitu belasan tahun.

Oleh karena itu kritik kita harus tajam dan lugas Pemerintah harus menghentikan praktik perubahan kurikulum yang didorong oleh kepentingan politis atau ego pimpinan semata.

Kita mungkin membutuhkan sebuah Dewan Konsistensi Pendidikan yang independen dan berbasis keahlian yang memiliki wewenang untuk menjaga stabilitas kurikulum inti dari guncangan politik, peran itu sebenarnya bisa dimainkan oleh organisasi profesi seperti PGRI, PGMI dan organisasi yg relevan lainya. Perubahan harus didasarkan pada riset yang teruji evaluasi yang mendalam dan pilot project yang tuntas bukan sekadar keputusan politis yang tergesa-gesa.

Bagi saya keresahan ini bukan hanya sebatas kritik akademik. Ini adalah keprihatinan mendalam dari seseorang yang setiap hari mendengar keluh kesah para guru tentang tumpukan modul baru yang harus mereka pelajari mendadak tentang kebingungan siswa yang baru saja beradaptasi dan tentang energi yang habis di meja kerja birokrasi bukan di hadapan murid.

Pendidikan seharusnya dijalankan berdasarkan konsensus para ahli bukan selera pimpinan, Jika kita gagal menghentikan siklus ini kita akan terus menciptakan generasi yang terlatih untuk beradaptasi dengan kekacauan bukan terlatih untuk menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan secara mendalam. Sudah saatnya kita menuntut stabilitas dan konsistensi sebagai hak dasar bagi setiap guru dan siswa di Indonesia. Jangan lagi biarkan pendidikan kita menjadi arena uji coba. Kami yang ada di ring terdekat dunia pendidikan menuntut perubahan nyata bukan hanya janji kebijakan baru.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment