- Wajah Pendidikan Indonesia
- Mengukir Kedaulatan Siber Menuju Indonesia Emas 2045
- Resolusi Jihad Santri Abad 21 Menuju Peradaban Dunia
- Pendidikan Penyelamat Lingkungan
- Awas!! Jaga kETIKAnmu
- Pendidikan Menajamkan Nalar Kritis
- Menjadi Generasi Cakap Digital
- Pondasi Literasi Digital
- Sudut Pandang Lain Penggunaan Chromebook
- Tantangan Pendidikan di Kabupaten Tegal
Harapan Dan Realita Program Digitalisasi Belajar
Seperti Apa Program Digitalisasi Belajar Era Presiden Prabowo

Keterangan Gambar : Digitalisasi Pembelajaran
Digitalisasi belajar, sebuah kata
yang kini begitu sering terdengar, bagai janji manis yang menggema di seluruh
pelosok negeri. Bayangkan sebuah masa depan di mana layar-layar digital menyala
di setiap ruang kelas, dari kota besar hingga desa terpencil, membawa materi
pelajaran terbaik langsung ke tangan siswa tanpa kendala jarak dan keterbatasan
guru ahli. Sebuah gambaran ideal yang ingin diwujudkan melalui Program
Digitalisasi Belajar yang menargetkan 288 ribu sekolah akan mendapatkan
perangkat digital modern seperti Interactive Flat Panel (IFP). Presiden
Prabowo Subianto bahkan menegaskan bahwa ini adalah ikhtiar strategis dalam
mewujudkan kualitas sumber daya manusia yang lebih unggul dan memperluas akses
pendidikan yang merata.
Namun, di balik harapan besar
itu, ada wajah lain yang sering kali luput dari sorotan. Realita di lapangan
menunjukkan bahwa banyak guru, terutama para pendidik senior di daerah-daerah
tertinggal dan terpencil, masih menghadapi kendala besar dalam mengoperasikan
teknologi ini. Perangkat canggih yang dijanjikan bukan jaminan pembelajaran
yang berkualitas jika guru sebagai ujung tombak pendidikan belum siap
menggunaannya secara optimal. Jangan sampai layar digital hanya menjadi alat
presentasi tanpa makna, sekadar pemutar materi yang membuat proses belajar jadi
satu arah dan membosankan.
Lebih dari itu, dalam banyak
kasus, metode pengajaran yang dipakai guru masih sangat konvensional dan
berpusat pada ceramah. Interaksi aktif antara guru dan siswa seringkali minim.
Ketika teknologi hanya berfungsi sebagai proyektor virtual, tanpa strategi
pengajaran yang memicu siswa untuk berpikir kritis, berdiskusi, dan
bereksperimen, maka digitalisasi belajar belum mencapai esensinya. Bukannya
mempercepat kemajuan, kondisi ini justru berpotensi memperlambat proses
pembelajaran dan menimbulkan kebingungan.
Baca Lainnya :
- AI di Ruang Kelas ?0
- Paradoks Digital diruang Demokrasi0
- Membumikan Literasi Digital0
- Saatnya Evaluasi Digitalisasi Dunia Pendidikan0
Digitalisasi seharusnya bukan
sekadar soal memasang alat teknologi di ruang kelas, namun bagaimana teknologi
tersebut mengubah cara kita belajar dan mengajar menjadi lebih efektif,
inklusif, dan menyenangkan. Pendidikan digital harus membuka ruang bagi siswa
untuk aktif berperan, menggali potensi mereka, dan membangun kompetensi abad 21
yang tidak hanya mengandalkan hafalan, tetapi kemampuan berpikir kritis,
kolaborasi, dan kreativitas.
Maka dari itu, kita harus
menyadari bahwa upaya mewujudkan keadilan dan pemerataan akses pendidikan
berbasis teknologi bukan pekerjaan instan. Masih ada jalan panjang yang harus
dilalui. Kunci utamanya adalah membangun sumber daya manusia, terutama mendapatkan
kesiapan dan keterampilan guru. Jika guru tidak didampingi dengan pelatihan
yang tepat tentang cara mengintegrasikan teknologi dan menggunakan metode
pembelajaran aktif, maka layar digital yang dipasang di kelas akan menjadi
sia-sia.
Optimisme tetap ada karena masih
banyak opsi yang dapat ditempuh agar digitalisasi belajar benar-benar
berdampak. Salah satunya adalah pelatihan berkelanjutan untuk guru dengan fokus
pada active learning. Dengan pelatihan ini, guru tidak hanya
belajar mengoperasikan perangkat, tetapi juga mengembangkan strategi pengajaran
yang melibatkan siswa secara langsung: tanya jawab, diskusi, kerja kelompok,
dan eksplorasi kreatif. Dengan demikian, teknologi menjadi alat pendorong
perubahan, bukan penghambat.
Selain itu, kolaborasi antara
pemerintah, institusi pendidikan , dan pihak swasta harus diperkuat untuk
menciptakan ekosistem digital classroom yang ramah pengguna dan
inklusif. Penyediaan konten pembelajaran yang kontekstual, menarik, dan mudah
diakses juga penting agar materi tidak sekadar diproyeksikan, tapi benar-benar
dipahami dan diaplikasikan oleh siswa.
Digitalisasi juga harus
disesuaikan dengan kearifan lokal dan kondisi daerah, sehingga tidak hanya
menyalurkan perangkat, tetapi menciptakan solusi pendidikan yang relevan bagi
masing-masing komunitas. Pendampingan dan monitoring secara ketat perlu
dilakukan agar investasi teknologi ini memberikan hasil nyata.
Kita perlu percaya bahwa teknologi, jika disertai dengan pembinaan dan strategi tepat, bisa menjadi jembatan yang menghubungkan kesenjangan pendidikan selama ini. Perjalanan ini memang panjang dan penuh tantangan, namun bukan mustahil. Dengan kemauan, perencanaan matang, dan kerja sama semua pihak guru, pemerintah, orang tua, dan masyarakat digitalisasi pembelajaran akan menjadi nyala api yang menerangi masa depan anak-anak bangsa.
Mari kita songsong transformasi
ini dengan sikap terbuka dan semangat gotong royong, agar teknologi bukan
sekadar alat canggih, melainkan sahabat sejati dalam mengembangkan potensi
setiap anak Indonesia menjadi generasi yang unggul, mandiri, dan siap bersaing
di dunia digital global.
.png)


.jpg)
.jpg)
.jpg)


