- Wajah Pendidikan Indonesia
- Mengukir Kedaulatan Siber Menuju Indonesia Emas 2045
- Resolusi Jihad Santri Abad 21 Menuju Peradaban Dunia
- Pendidikan Penyelamat Lingkungan
- Awas!! Jaga kETIKAnmu
- Pendidikan Menajamkan Nalar Kritis
- Menjadi Generasi Cakap Digital
- Pondasi Literasi Digital
- Sudut Pandang Lain Penggunaan Chromebook
- Tantangan Pendidikan di Kabupaten Tegal
AI di Ruang Kelas ?
AI di Ruang Kelas : Membunuh Nalar atau Melahirkan Generasi Jenius?
.jpg)
Keterangan Gambar : Iqbaal Harits Maulana
Belakangan ini, kepanikan melanda dunia pendidikan di berbagai belahan dunia. Para guru dan pengelola sekolah semakin gelisah melihat maraknya siswa yang menggunakan ChatGPT untuk menyelesaikan tugas mereka. Wacana mengenai keberadaan Generative AI di ruang kelas terbagi dalam dua kutub ekstrem, sebagian pihak yakin bahwa kehadiran AI akan mengakhiri pendidikan kritis dan kreativitas siswa, sementara lainnya berpendapat bahwa AI justru merupakan masa depan pembelajaran yang tak terelakkan. Di tengah perdebatan itu, saya mengambil posisi sebagai penengah yang pragmatis tidak melarang atau membebaskan penggunaan AI secara mutlak, melainkan mengajarkan bagaimana AI dapat digunakan sebagai "asisten berpikir" yang mendukung proses pembelajaran, bukan sebagai "mesin contekan" yang mematikan kemampuan analitis.
Pada dasarnya, Generative AI seperti ChatGPT adalah alat bantu yang bekerja berdasarkan algoritma dan data besar, bukan keajaiban. Melarang penggunaannya di ruang kelas sama halnya seperti melarang kalkulator saat belajar matematika, atau melarang Google ketika melakukan riset. Ini adalah bagian dari perkembangan teknologi yang tidak bisa dihindari. Kehadiran AI di dunia kerja masa depan dipastikan akan meluas ke berbagai sektor, sehingga kalau di sekolah kita masih bersikeras menolak teknologi ini, sesungguhnya kita sedang mempersiapkan generasi yang tertinggal. Alih-alih memusuhi AI, sebaiknya kita memahami dan mengadopsinya dengan bijak sebagai bagian dari kompetensi digital siswa.
Perubahan paradigma ini tentu juga mengubah peran guru secara fundamental. Anggapan bahwa AI akan menggantikan posisi guru adalah kesalahpahaman. Justru guru yang menolak berubah cenderung tergantikan oleh teknologi. Kini, guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber ilmu, melainkan bertindak sebagai kurator informasi, fasilitator diskusi, dan pembimbing dalam membangun keterampilan berpikir kritis. Misalnya, dalam praktik pembelajaran, tugas murid dapat diubah dari sekadar membuat esai sejarah Indonesia menjadi meminta mereka menggunakan ChatGPT untuk membuat draf awal, kemudian melanjutkan dengan mengkritisi, memeriksa fakta, dan menambahkan argumen dari sudut pandang masing-masing siswa. Pendekatan ini memupuk pemahaman yang lebih dalam dan merangsang nalar mereka secara aktif.
Baca Lainnya :
- Paradoks Digital diruang Demokrasi0
- Membumikan Literasi Digital0
- Saatnya Evaluasi Digitalisasi Dunia Pendidikan0
Selain itu, kurikulum kita perlu beradaptasi dan mengintegrasikan literasi AI sebagai kompetensi dasar. Siswa tidak cukup hanya menggunakan AI secara pasif, mereka harus diajarkan bagaimana menyusun perintah (prompt) yang efektif agar mendapatkan informasi yang relevan, bagaimana memverifikasi kebenaran data yang diperoleh, dan memahami etika dalam penggunaan AI. Ini adalah kesempatan langka untuk mengenalkan mereka pada konsep bias data, hoax, dan pentingnya sumber primer, semua diajarkan melalui studi kasus penggunaan AI itu sendiri. Dengan demikian, mereka tidak hanya menjadi pengguna, tapi juga "prompt engineer" muda yang kritis dan bertanggung jawab.
Melihat urgensi dan potensi ini, sudah saatnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi merampungkan panduan nasional yang jelas tentang pemanfaatan Generative AI dalam dunia pendidikan. Para guru harus didorong untuk tidak takut mencoba dan mengintegrasikan teknologi ini, dimulai dengan eksperimen kecil di kelas mereka. Saya yakin, dengan pendekatan yang benar, AI di tangan siswa yang terdidik akan menjadi akselerator pembelajaran yang memperdalam pemahaman mereka, bukan ancaman yang harus dimusnahkan. Tugas kita bersama bukan untuk mematikannya, tetapi mengajarkan cara menyalakannya dengan benar agar menghasilkan generasi jenius yang siap menatap masa depan.
.png)


.jpg)
.jpg)
.jpg)


