Membumikan Literasi Digital

By Iqbaal Harits 13 Agu 2025, 20:59:04 WIB Opini
Membumikan Literasi Digital

Keterangan Gambar : Literasi Digital, Sumber:https://sindig.unesa.ac.id/course/4/693/literasi-digital


Istilah literasi digital semakin sering menghiasi ruang-ruang diskusi kebijakan, seminar pendidikan, dan program transformasi digital nasional. Ia seolah menjadi mantra yang diyakini mampu menjawab berbagai persoalan pembangunan, dari kesenjangan pendidikan, layanan publik, hingga penguatan demokrasi. Namun di balik geliat tersebut, muncul pertanyaan mendasar,  sejauh mana literasi digital benar-benar hadir dan membumi di tengah masyarakat Indonesia?

Secara konseptual, literasi digital tidak hanya berarti kemampuan menggunakan perangkat elektronik atau mengakses internet. Ia mencakup keterampilan memahami informasi digital secara kritis, menggunakan teknologi secara produktif dan etis, serta berpartisipasi aktif di ruang digital. Literasi digital bukan hanya alat bantu, tetapi prasyarat bagi warga negara untuk bertahan dan berkembang dalam masyarakat informasi.

Sayangnya, jika kita menengok realitas di berbagai daerah, terutama wilayah nonperkotaan dan pelosok desa, kesenjangan digital masih menjadi tantangan serius. Infrastruktur internet belum merata. Di banyak desa, sinyal masih menjadi barang mewah, listrik pun belum stabil sepanjang waktu. Dalam kondisi demikian, akses terhadap layanan daring termasuk administrasi kependudukan, pendidikan jarak jauh, dan layanan kesehatan digital menjadi terbatas, bahkan nyaris mustahil.

Baca Lainnya :

Tak hanya soal akses, pemahaman terhadap dunia digital pun belum merata. Masih banyak warga yang belum memahami bagaimana menggunakan internet secara aman dan bermanfaat. Contohnya, program aktivasi Identitas Kependudukan Digital (IKD) di berbagai daerah yang masih belum mencapai target. Ini bukan semata-mata soal kurangnya sosialisasi, tapi karena banyak warga belum paham mengapa identitas digital penting, atau bahkan belum terbiasa menggunakan aplikasi pemerintahan di ponsel mereka.

Lebih lanjut, pendekatan pelatihan literasi digital sering kali tidak kontekstual. Banyak pelatihan bersifat satu arah dan generik mengajarkan cara menggunakan aplikasi tertentu, tetapi tidak mengaitkannya dengan kebutuhan warga. Literasi digital yang diajarkan di ruang kelas atau seminar tidak serta merta menjawab kebutuhan seorang petani yang ingin menjual hasil panennya secara daring, atau seorang ibu rumah tangga yang ingin membantu anaknya belajar lewat platform digital. Akibatnya, terjadi disonansi antara apa yang diajarkan dan apa yang benar-benar dibutuhkan.

Padahal, jika literasi digital diarahkan secara tepat dan kontekstual, potensinya luar biasa. Teknologi bisa membantu petani mengakses harga pasar dan cuaca, pelaku UMKM memasarkan produk lokalnya ke luar daerah, guru dan siswa di pelosok mendapatkan materi belajar berkualitas, bahkan perangkat desa melayani masyarakat lebih cepat dan transparan. Namun semua itu hanya bisa terwujud jika masyarakat memahami dan mampu menggunakan teknologi secara bermakna.

Dalam konteks ini, pemerintah memang telah memulai berbagai inisiatif. Program 10.000 talenta digital, pelatihan perangkat desa, hingga pengembangan desa digital menunjukkan keseriusan arah kebijakan. Namun pelaksanaan di lapangan masih menghadapi kendala,  keterbatasan fasilitator, keterjangkauan wilayah, dan rendahnya keberlanjutan program.

Literasi digital harus dibangun sebagai ekosistem, bukan sekadar proyek. Ini artinya, perlu ada keterlibatan multisektor,  tidak hanya Dinas Kominfo, tetapi juga Dinas Pendidikan, UMKM, Kesehatan, dan Kependudukan. Perguruan tinggi, komunitas lokal, dan sektor swasta juga harus diajak serta dalam satu kerangka besar,  menjadikan literasi digital sebagai gerakan bersama, bukan sekadar kebijakan teknokratik.

Pendekatan ini juga harus berbasis masyarakat. Komunitas lokal, kader desa, guru, dan relawan sosial dapat menjadi agen literasi digital yang lebih dekat dengan warga. Dengan pelatihan yang tepat dan materi yang relevan, mereka bisa menjadi jembatan antara teknologi dan kebutuhan sehari-hari masyarakat. Literasi digital yang membumi adalah literasi yang hadir dalam bahasa yang dipahami rakyat, menyentuh persoalan yang mereka hadapi, dan menjawab kebutuhan yang mereka rasakan.

Di tengah cepatnya perkembangan teknologi, membangun kesadaran dan kapasitas digital masyarakat menjadi agenda yang mendesak. Literasi digital yang inklusif, berkelanjutan, dan relevan adalah fondasi dari masyarakat digital yang sehat masyarakat yang mampu memilah informasi, menjaga etika, dan memanfaatkan teknologi untuk kesejahteraan bersama.

Transformasi digital sejati bukan hanya soal teknologi, tetapi soal manusianya. Karena itu, literasi digital bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Ia harus dibangun dari bawah, dijaga bersama, dan dikembangkan secara berkelanjutan agar tak sekadar menjadi wacana, tetapi menjadi kenyataan yang dirasakan oleh semua warga, tanpa kecuali.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment